SEKILAS INFO
: - Thursday, 21-09-2023
  • 1 tahun yang lalu / Dr. H. Syafi’i, M.Ag Serahkan SK Prodi PAI STAI-IC Demak Kasubdit Pengembangan Akademik Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Dr. H. Syafi’i, M.Ag menyerahkan SK Program Studi Baru PAI STAI-IC Demak , di ruang sidang lantai 1, Kamis (23/09/2021). “Selamat atas izin yang diberikan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang SK izin penambahan...
KEISTIMEWAAN BASMALAH

Tafsir al-Fātiḥah ayat 1
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”

1. Baslamah Ayat al-Fātiḥah atau Bukan
Para ulama’ telah sepakat bahwa basmalah merupakan bagian ayat dalam surat al-Naml, akan tetapi terdapat perbedaan pendapat di antara para qura’ dan ulama’ mengenai basmalah, apakah dia termasuk ayat yang mengawali surat al-Fātiḥah, atau termasuk awal tiap-tiap surat, atau bukan keduanya?

Menurut Imam Syafi‘i basmalah merupakan salah satu ayat dari surat al-Fātiḥah dan ditulis di setiap awal surat. Salah satu dalil yang menguatkan pendapatnya adalah ayat dan hadis berikut
“ Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung.” (QS. al-Ḥijr [15]: 87).
Dalam ayat di atas terdapat kalimat “tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang”. Ayat al-Qur’an yang paling banyak (berulang-ulang) dibaca adalah surat al-Fātiḥah, yaitu dibaca minimal sehari 17 kali dalam shalat 5 waktu. Disebutkan dalam ayat bahwa jumlah ayatnya ada tujuh.
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. bahwa beliau bersabda: “Al-ḥamdu lillāhi rabbi al-‘ālamīn adalah tujuh ayat, salah satunya adalah bismi allāhi al-raḥmāni al-raḥīm.” Hadis Abu Hurairah di atas diriwayatkan secara marfū‘ dan mauquf, serta terdapat iḍṭarab1 (goncang) pada sanad dan kemarfu‘annya sampai kepada Rasulullah. [Tafsīr Āyāt al-Aḥkām ]

Sedangkan menurut Imam Maliki basmalah bukan merupakan bagian ayat dari surat al-Fātiḥah. Alasan ini dikarenakan Ahli Madinah tidak membaca basmalah dalam shalat mereka di masjid Madinah. Pelaksanaan shalat tersebut berjalan mulai zaman Rasulullah sampai dengan zaman Imam Maliki.
Hadis yang menguatkan pendapat Imam Maliki tersebut adalah hadis dari Aisyah RA. berikut: “Dari Aisyah RA, dia berkata, Rasulullah SAW senantiasa memulai shalat dengan takbir, lalu membaca (al-ḥamdu lillāhi rabb al-‘ālamīn).” (HR. Muslim)
Dalam hadis tersebut Aisyah RA. mengisyaratkan surat al-Fātiḥah dengan al-ḥamdu lillāhi rabb al-‘ālamīn, sehingga ini menjadi alasan bahwa al-Fātiḥah dimulai dengan al-ḥamdu lillāhi rabb al-‘ālamīn bukan bismi allāhi al-raḥmāni al-raḥīm.

2. Basmalah dalam Sholat
Pada pendapat Imam Syafi’i di atas dijelaskan bahwa basmalah termasuk bagian dari ketujuh ayat surat al-Fātiḥah, sehingga hukumnya wajib membaca basmalah dalam Fātiḥah shalat bagi penganut Mażhab Syafi’i. Karena Fātihah merupakan salah satu rukun shalat, di mana Fātiḥahnya tidak syah maka shalatnya juga tidak syah.
Dari Ibnu Abbas RA. bahwa Rasulullah SAW. memulai shalat dengan bismi allāhi al-raḥmāni al-raḥīm. [HR. Tirmizi dan Abu Dawud]

3. Tafsir perkata
a. ب
Menurut sebagian ulama’ lafal basmalah didahului dengan lafal abda’u (saya memulai) yang kemudian dibuang karena panjangnya lafal: “Saya memulai dengan menyebut nama Allah” [Muhammad Anieq, Lc. MA.]
Menurut ulama’ nahwu huruf bā’ adalah huruf jair yang menjadikan majrūr lafal ismun. Jair majrūr keduanya adalah ma‘mūl, sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘āmil, sehingga jair majrūr pada lafal bismi berkaitan dengan fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi. Kata kerja yang tersembunyi itu sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya pada do’a ketika akan tidur: “Dengan menyebut nama-Mu ya Allah aku hidup dan aku mati.” [Ḥisnu al-muslīm]
Penyebutan nama Allah di dalam do’a di atas berkaitan dengan fi’il “hidup” dan “mati”. Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah firman-Nya dalam surat QS. al- ‘Alaq ayat 1: “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu …” Dan hadis riwayat Imam Bukhari melalui jalur sanad Jundab Ibnu Sufyan al-Bajali berikut ini: “Maka hendaklah dia menyembelih atas nama Allah.” Kata “menyebut” dalam bahasa Arab adalah al-żikr (menyebut, mengingat), sehingga apabila ditulis secara lengkap lafalnya menjadi seperti ini: “Dengan menyebut nama Allah

b. اسم
Ada perbedaan pendapat mengenai lafal ism yang terdapat dalam basmalah, apakah ia merupakan diri musammā (zat yang diberi nama) atau yang lainnya? Ada tiga pendapat; (1) ism adalah musammā itu sendiri (keseluruhan bagian dari musammā), (2) ism adalah diri musammā (wujud yang nampak dari musammā) dan bukan nama, (3) ism adalah nama musammā bukan diri musammā. [Tafsīr Ibnu Kaṡir]
Hakekatnya ism adalah lafal yang bukan merupakan diri musammā, Akan tetapi sesuatu yang dimiliki oleh musammā itu karena satu musammā bisa memiliki lebih dari satu ism. Seperti firman Allah dalam surat al-A‘rāf ayat 180 yang menjelaskan bahwa Allah memiliki beberapa nama yang baik, sedangkan zatnya Allah adalah satu.
Namun jika ism memberi pemahaman mengenai diri musammā maka ism termasuk diri musammā. Seperti firman Allah dalam surat al-A‘lā ayat 1: “Sucikanlah nama Tuhanmu …” karena sesungguhnya tasbih (mensucikan) adalah kepada diri yang disucikan, [Nūr al-Ẓalām] seperti kata “mengharumkan nama” bukan namanya yang dimuliakan, akan tetapi diri orangnyalah yang dimuliakan.

c. الله
Lafal “Allah” adalah isim ‘alam yang hanya dimiliki oleh Allah, menurut suatu pendapat lafal Allah merupalan Ism al-A‘zam karena ia telah mencakup semua nama-nama Allah yang lain, [Tafsīr Ibnu Kaṡir] kedudukannya paling tinggi dari nama-nama Allah yang lain. Sebagai dasar adalah penyebutan nama-nama Allah di dalam al-Qur’an sebagian besar didahului lafal allāh. Contoh: 1. QS. al-Nisā’ ayat 12, QS. al-Jumu‘ah ayat 1, QS. al-Zumar ayat 1. Atau didahului ḍamīr yang merujuk pada lafal allāh. Contoh: 1. QS. al-Ḥasyr ayat 23, QS. al-Ḥadīd ayat 1, QS. al-An‘ām ayat 1.
Selain dasar tersebut, lafal allāh menurut sebagian ulama’ merupakan bentukan dari lafal “ilāhun” yang berarti tuhan, Imam Sibawaih contohnya, dia mengambil dari Imam Khalil menjelaskan bahwa lafal allāh berasal dari lafal “ilāhun” mengikuti wazan fi‘ālun, sedang huruf hamzah dan lām merupakan huruf ma‘rifah yang dimasukkan menggantikan huruf hamzah pada lafal ilāhun. Seperti pada isim nakirah lafal unāsun (manusia) isim ma‘rifahnya adalah al-nāsu, huruf hamzah pada lafal unāsun dihilangkan karena kemasukan alif -lām ma‘rifah. [Tafsir Ibnu Kaṡir]
Maka lafal allāh merupakan isim ma‘rifah yang berarti “satu tuhan” dengan mengkhususkan bahwa yang dimaksud satu tuhan itu adalah Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat al-Zukhruf ayat 84 berikut ini: “Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Adapun dalil lain yang menguatkan bahwa lafal allāh berasal dari kata ilāhun adalah surat al-Fātiḥah ayat 2: Lafal lillāhi berasal dari lafal allāh yang kemasukan huruf lām, hamzah wasal pada “al” ma‘rifahnya dibuang karena hamzah wasal tidak mungkin berada di tengah-tengah kata. Sedang lām ma‘rifah-nya dibuang karena sudah di-idgam-kan kepada huruf lām sesudahnya sehingga tidak perlu dituliskan mengingat banyaknya lām yang berdampingan. Seperti pada lafal li al-laili berikut ini:
ل + اليل = للّيل
Sedangkan nama Allah yang lain adalah bentukan dari kata sifat yang menunjukkan arti sifat Allah. Sehingga dapat dicontohkan penyebutan lafal Allah dalam zikir adalah kemurnian pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan si Pezikir, sedangkan penyebutan nama Allah yang lain, lafal al-raḥīm misalnya yang berarti Maha Penyayang mengandung unsur lain, yaitu dengan menyebut nama tersebut si Pezikir mengharap agar Allah memberikan rahmat-Nya. [Nūr al-Ẓalām]

d. الرحمن الرحيم
“Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang” Beberapa ulama’ sepakat bahwa lafal al-raḥmān dan al-raḥīm berasal dari satu isim masdar, akan tetapi dua kata ini memiliki arti yang berbeda. Ibnu Jarir mengatakan: “Telah menceritakan kepada kami al-Sirri Ibnu Yahya al-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman Ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar al-Azrami berkata sehubungan dengan makna al-raḥmān adalah Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mu’min), sedangkan berarti al-raḥīm Maha Penyayang kepada orang mu’min saja, [Tafsīr Ibnu Kaṡir] Adapun dalil yang menguatkan pendapat di atas adalah firman Allah SWT berikut ini:
Surat al-Furqān ayat 59, dalil mengenai makna al-raḥmān: “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” Dari ayat ini dapat diambil penjelasan bahwa dengan sifat raḥmān (pemurah)- Nya Allah menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya. Allah menciptakan semua itu untuk manusia pada umumnya, baik orang mu’min ataupun orang kafir berhak menikmati ciptaan Allah tersebut.
Surat al-Aḥzāb ayat 43, mengenai makna al-raḥīm: “Dan Dia adalah yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” Ayat tersebut telah jelas bahwa sifat raḥīm (penyayang)-Nya hanyalah kepada orang-orang mu’min.
Menurut Aahmad al-Ṣawi al-raḥmān adalah yang memberikan nikmat yang berbentuk kasar, seperti penglihatan, pendengaran dan rizki. Sedangkan al-raḥīm adalah yang memberikan nikmat berbentuk halus, seperti tambahnya iman, tambahnya ma‘rifat Allāh dan pemberian ampunan. [Nūr al-Ẓalām]
Sebagian ulama’ di Jawa memaknai lafal al-raḥmān dengan “kang maha welas asih ing dalem dunya lan akhirat” yang berarti yang maha pengasih dan penyanyang di dunia maupun di akhirat. Sedangkan memaknai al-raḥīm dengan “kang maha welas asih ing dalem akhirat belaka” yang berarti yang Maha pengasih dan penyayang di akhirat saja. [al-Ibrīz] Sedang menurut tafsir terjemah Departemen Agama Republik Indonesia memaknai al-Raḥmān dengan yang maha pengasih, sedang al-raḥīm bermakna yang maha penyayang. [Al-Qur’an dan Terjemah] Seperti contoh rasa kasih/kasihan/simpati seseorang bisa muncul kepada siapapun, baik dia mengenalnya atau tidak, bahkan kepada seorang musuh sekalipun. Namun rasa sayang/cinta/empati hanya akan diberikan kepada orang yang dikhususkan. Dari beberapa pendapat di atas Penulis mendapatkan hasil analisa bahwa makna dari lafal al-raḥmān adalah Yang Maha Pengasih, yaitu dengan sifat raḥmān Allah memberikan nikmat yang berbentuk kasar baik kepada orang mukmin ataupun kafir di dunia, namun hanya akan memberikannya kepada orang mu’min saja di akhirat. Sedangkan al-raḥīm berarti Yang Maha Penyayang, yaitu dengan sifat raḥīm Allah memberikan nikmat yang berbentuk halus kepada orang mu’min saja di akhirat. Di dalam I‘jaz ‘Adadi didapati penyebutan lafal al-raḥmān dan al-raḥīm ternyata jumlahnya adalah satu banding dua, ini menjelaskan bahwa nikmat Allah yang diberikan kepada orang mu’min di akhirat sebagai wujud sifat raḥīm Allah adalah nikmat yang paling besar. Di antaranya seperti nikmat bertemu dengan zat Allah. Seperti halnya manusia nikmat terbesar adalah dapat bertemu dengan orang yang dicintainya, dan dengan rasa cinta seseorang akan memberikan sesuatu yang besar demi orang yang dicintainya. Ahmad al-Malawi mengatakan bahwa al-raḥmān lebih bālig (sampai) dibandingkan al-raḥīm karena al-raḥmān berarti yang memberikan nikmat yang nyata dan sampai sementok-mentoknya (sangat besar hingga tidak ada yang tersisa). [Nūr al-Ẓalām ] Sehingga al-raḥmān hanya khusus dimiliki Allah SWT. semata, tidak ada yang berhak menyandangnya selain Dia. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Isrā’ ayat 110: “Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru …” Pada ayat di atas terdapat urutan kedudukan nama Allah; pertama disebutkan serulah Allah, kedua disebutkan serulah al-Raḥmān, dan jika tidak keduanya serulah nama Allah yang lain. Dari ayat di atas penyebutan nama-nama Allah SWT. dalam lafal basmalah menjadi urutan yang sesuai.

Bersambung …………………….

1 komentar

mutineer, Saturday, 8 Jan 2022

all the time i used tⲟ read smaller articⅼes that also clеаr their motive, and that is also happening with this paragraph which I am
reading now.

Reply

TINGGALKAN KOMENTAR

Data Kampus

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)ISLAMIC CENTRE Demak

NSPTKI : -

Jl. Diponegoro No.47
KEC. Wonosalam
KAB. Demak
PROV. Jawa Tengah
KODE POS 59571
TELEPON -
FAX -
EMAIL info@staiicdemak.ac.id

Pengumuman

PENGUMUMAN PMB STAIIC DEMAK 2021

KEGIATAN SPL