
Kajian QS. Al-Maidah: 35
Oleh: Ahmad Ilham
Wawancara bersama Afif Kholidin, S.Ag., M.Pd.
11 Desember 2021.
Di dalam berdo’a dikenal adanya wasilah dan tawasul. Membahas wasilah artinya membahas masalah yang sangat sensitif. Terjadi pertentangan besar mengenai masalah wasilah tersebut. Banyak golongan kaum Muslim yang memperdebatkannya, khususnya para ulama Saudi Arabia. Kebanyakan dari mereka berpandangan bahwa bertawasul kepada Nabi Muhammad SAW setelah wafat adalah perbuatan syirik. Sedangkan golongan yang lain berkeyakinan bahwa bertawasul kepada Nabi Muhammad SAW setelah wafat itu boleh, bahkan hukumnya sunah. Telah banyak dilakukan kegiatan perdebatan membahas hukum tawasul antara yang menghalalkan dan mengharamkannya, banyak juga kaum muslim yang ikut serta dalam perdebatan masalah tawasul tersebut.
Dasar wasilah sendiri terdapat dalam Alquran, di antaranya dalam surat al-Maidah ayat 35:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ… (الْمَائِدَة: ٣٥
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah yang mendekatkan diri kepada-Nya…” (QS. Al-Mā’idah [5]: 35)
Akan tetapi sering terjadi perdebatan dalam menafsirkan kata wasilah tersebut, yang akhirnya berimplikasi pada pengharaman dan penghalalannya.
Dalam praktiknya, sering dijumpai umat Muslim berwasilah di dalam do’a mereka kepada Nabi yang sudah wafat atau kepada orang saleh, bahkan terdapat sebagian Muslim berwasilah pada subjek atau objek yang sebenarnya tidak layak memperoleh kehormatan, seperti kuburan yang dianggap keramat, bangunan, tanah, batu, atau pohon yang dianggap punya kemuliaan. Mereka menganggap apa yang ada di sekitar sesuatu yang mulia adalah mulia, sesuatu yang ada di sekitar kuburan orang yang mulia di sisi Allah SWT juga memperoleh kemuliaannya, dan penghormatan kepada kuburan orang mulia berarti penghormatan kepada penghuni kubur tersebut yang Allah SWT memuliakannya, sehingga syah untuk dijadikan wasilah kepada Allah SWT. Bahkan ada pula yang memperbolehkan istighāṡah (meminta pertolongan) kepadanya (Al-Albani dan Al-Utsaimin: 2015, 7).
Lalu, apakah hakikat wasilah itu? Menurut Kholidin, arti dari kata wasilah sederhananya adalah perantara. Perantara dalam hal apapun bisa disebut sebagai wasilah, sedangkan kegiatannya disebut tawasul. Namun jika kita membahas wasilah dalam surat al-Maidah berarti kita membahas perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana Sufyan al-Sauri meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan al-wasīlah adalah qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan jika kita rujukkan kata wasilah itu kepada wasilah yang banyak diperdebatkan di sekitar kita, maka wasilah yang dimaksud adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui perantara agar do’a dikabulkan. Namun pendapat mengenai mendekatkan diri kepada Allah SWT ini menimbulkan berbagai pendapat yang berbeda-beda dari para ulama, khususnya ulama Nusantara. Di antara mereka menyebutkan bahwa agar do’a dikabulkan kita harus mendekatkan diri kepada Allah, tetapi jika kita merasa diri kita belum bisa menjadi orang yang dekat dengan Allah maka kita perlu mendekati orang-orang yang dekat dengan Allah agar do’a lebih cepat dikabulkan. Quraish Shihab misalnya, ia memaknai tawasul sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menyebut nama Nabi SAW dan para Wali atau orang yang dekat dengan-Nya, dengan cara berdo’a kepada Allah SWT guna meraih keinginan yang dimaksud demi para Nabi AS atau orang-orang saleh yang dicintai Allah SWT.
Lalu bagaimana hukumnya? Kholidin mengatakan bahwa sebelum kita membahas hukum wasilah kita harus memahami dulu bentuk-bentuk wasilah. Wasilah ada 2 bentuk, yaitu kauniyah dan syar‘iyah. Wasilah kauniyah adalah sarana-sarana alamiah. Contohnya yaitu; air adalah wasilah untuk menghilangkan dahaga, makan adalah wasilah untuk menghilangkan lapar, dan pakaian adalah wasilah untuk melindungi tubuh dari panas dan dingin. Sedangkan wasilah syar‘iyah adalah sarana yang didasarkan pada syari’at.
Adapun pembagian tawasul syar‘iyah menurut Kholidin ada berbagai macam, akan tetapi secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu tawasul yang disyari’atkan dan yang tidak disyari’atkan. Tawasul yang disyari’atkan adalah tawasul dengan menggunakan perantara yang dibenarkan oleh Alquran dan Hadis. Sedangkan tawasul yang tidak disyari’atkan adalah tawasul menggunakan perantara yang tidak ada dasar syari’atnya, maksudnya tidak ditemukan dasar yang kuat di dalam Alquran dan Hadis SSahih
Bentuk-bentuk tawasul yang disyari’atkan atau memiliki dasar dari Alquran dan Hadis di antaranya:
1. Dengan menyebut nama Allah SWT. Salah satu dasar syari’atnya adalah:
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا… (اَلْاَعْرَاف: ١٨٠)
Artinya:
“Hanya milik Allah al-Asm’aul Husnā, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-Asm’aul Husnā itu…” (QS. Al-A‘rāf [7]: 180)
2. Dengan menyebut sifat Allah. Salah satu dasar syari’atnya adalah do’a istikharah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahihnya melalui jalur Jabir:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوب… (رَوَاهُ الْبُخَارِي)
Artinya:
“Ya Allah saya memohon pilihan kepada Engkau dengan ilmu-Mu, saya memohon penetapan dengan kekuasaan-Mu dan saya memohon karunia-Mu yang besar, karena Engkaulah yang berkuasa sedangkan saya tidak berkuasa, Engkaulah yang Maha mengetahui sedangkan saya tidak mengetahui apa-apa, dan Engkau Maha mengetahui dengan segala yang gaib…”
3. Dengan keimanan. Salah satu dasar syari’atnya adalah:
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ (آلِ عِمْرَان: ١٩٣)
Artinya:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu”, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (QS. Ali ‘Imrān [3]: 193)
4. Dengan amal saleh. Salah satu dasarnya adalah:
وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ… (سُوْرَة اَلشُّرَى: ٢٦)
Artinya:
“Dan Dia mengabulkan (do’a) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya …” (QS. Al-Syurā [42]: 26)
5. Dengan menyebutkan keadaan dan kebutuhannya. Salah satu dasarnya adalah do’a Nabi Zakariya AS:
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (سُوْرَة مَرْيٰم: ٤)
Artinya:
“Ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” (QS. Maryām [19]: 4)
6. Dengan meminta pertolongan orang saleh. Salah satu dasarnya adalah Hadis riwayat Bukhari melalui Anas bin Malik tentang musibah paceklik di zaman Nabi SAW, ketika Nabi sedang memberikan khutbah jum’at, tiba-tiba seorang Arab Badui berdiri dan meminta dido’akan oleh Nabi: “Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa dan telah terjadi kelaparan, maka berdo’alah kepada Allah agar menurunkan hujan untuk kita!”
7. Dengan mengikuti Rasulullah SAW. Salah satu dasarnya adalah:
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ (سُوْرَة اٰلِ عِمْرَان: ۵۳)
Artinya:
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti Rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah.)” (QS. Ali ‘Imran [3]: 53)
Sedangkan tawasul yang tidak memiliki dasar dari Alquran dan Hadis Sahih di antaranya adalah:
1. Sebelum Rasulullah SAW diwujudkan sebagai manusia. Salah satu dasarnya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim melalui Umar RA, beliau berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam AS melakukan kesalahan dia berkata: “Ya Tuhan! Aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad, maka ampunilah aku.” Tidak ditemukan Hadis ini di dalam kitab sahih dan sunan, sehingga Hadis tersebut belum bisa digunakan sebagai dalil syar‘i.
2. Dengan menyebut nama Nabi SAW, meskipun tawasul dilakukan pada masa hidup Rasulullah, namun tawasul atas nama Nabi tidak ada dasarnya. Tawasul melalui diri Rasulullah SAW semasa hidupnya yang disyari’atkan adalah dengan cara meminta agar beliau mendo’akan bukan menyebutkan namanya di dalam do’a.
3. Setelah Rasulullah SAW wafat. Salah satu dasarnya adalah atsar al-Baihaqi dari Malik, dia berkata:
“Melanda manusia paceklik di zaman Umar bin Khaṭab, maka datang seorang laki-laki ke kubur Nabi SAW kemudian dia berdo’a: “Wahai Rasulullah! Mintakanlah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka dalam kerusakan.” Maka Rasulullah mendatanginya dalam mimpi kemudin beliau bersabda: “Datanglah kepada Umar kemudian sampaikan salam dariku, dan katakan kepada umat bahwa sesungguhnya mereka akan diberi hujan, dan katakan kepadanya untuk menyediakan kantung dan kantung.” Maka laki-laki itu datang dan memberi kabar kepada Umar. Kemudian beliau berdo’a: “Ya Tuhan! Saya tidak susah kecuali apa yang saya lemah darinya.”
Atsar tersebut belum memenuhi syarat kesahiihan pada sanadnya, sehingga tawasul ini belum memiliki dalil syari’at tanpa adanya dalil-dalil pendukung.
4. Melalui orang saleh yang sudah mati. Tidak ada dalil tentang tawasul ini, akan tetapi ada kisah tentang tawasul dengan sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah SAW atau disebut juga sebagai tabaruk. Contohnya adalah; (1) Ummu Sulaim memotong ujung garba yang Rasulullah SAW minum dengannya kemudian Anas meminta garba tersebut. (2) Para sahabat berlomba-lomba untuk mendapatkan rambut Rasulullah SAW ketika Abu Ṭalḥah sedang menyukur beliau. (3) Asma’ binti Abu Bakar menyimpan jubah Rasulullah SAW dan dia berkata: “Kita akan mencucinya dan meminumkannya untuk orang sakit.”
Beberapa ulama sangat hati-hati dalam menentukan suatu hukum, sehingga mereka tidak mensyahkan perbuatan yang tidak ada dalil syari’atnya. Sedangkan beberapa ulama ada yang menguatkan dasar-dasar di atas yang kesahihannya belum kuat dengan merujuk kepada dasar yang lain, misalnya kisah di zaman sahabat yang bertabaruk dengan sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah SAW.
Kesahihan kisah tabaruk ini dijelaskan dalam suatu Hadis Bukhari berikut ini:
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ قَالَ أَرْسَلَنِي أَهْلِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ وَقَبَضَ إِسْرَائِيلُ ثَلَاثَ أَصَابِعَ مِنْ قُصَّةٍ فِيهِ شَعَرٌ مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ إِذَا أَصَابَ الْإِنْسَانَ عَيْنٌ أَوْ شَيْءٌ بَعَثَ إِلَيْهَا مِخْضَبَهُ فَاطَّلَعْتُ فِي الْجُلْجُلِ فَرَأَيْتُ شَعَرَاتٍ حُمْرًا (رَوَاهُ الْبُخَارِي)
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Malik bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Isra’il dari Uṡman bin Abdullah bin Mauhab berkata; “Keluargaku pernah menyuruhku menemui Ummu Salamah isteri Nabi ṣalallahu ‘alaihi wasalam dengan membawa mangkuk berisi air, sementara Isra’il memegang mangkuk tersebut menggunakan tiga jarinya yang didalamnya terdapat beberapa helai rambut Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang diikat, apabila ada seseorang yang terkena sihir atau sesuatu, maka tempat mewarnai rambut beliau diberikan kepada Ummu Salamah, lalu aku menundukkan kepala ke wadah yang menyerupai lonceng, aku melihat rambut beliau sudah berubah merah.” (HR. Bukhari)
Menurut Kholidin hukum halal atau haramnya tawasul tidak terletak pada apa yang dijadikan wasilah, namun siapa yang menjadi tujuan. Selama kita masih berdo’a dengan maksud tujuan meminta kepada Allah SWT maka do’a tersebut tetaplah syah. Namun jika do’a dimaksudkan meminta kepada wasilah atau berkeyakinan bahwa wasilah tersebut dapat memberikan apa yang diminta maka hukumnya adalah syirik.
Kholidin menambahkan bahwa wasilah memiliki beberapa tingkatan. Pertama, jika wasilah adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah agar do’a dikabulkan, maka amal perbuatan adalah tingkatan tertinggi. Merasa tidak pantas dan berusaha memantaskan diri itu lebih baik daripada meminta pertolongan orang lain yang lebih pantas namun diri sendiri tidak mencoba memperbaikinya. Kedua, wasilah kepada orang saleh yang masih hidup ataupun kepada Nabi semasa hidup beliau agar ia mendo’akan. Dan yang ketiga, dengan cara menyebutkan keadaan, karena melalui wasilah apun kita tetap bisa mengadukan keadaan kita sebagai wasilah dalam berdo’a.
Bagaimana menjadikan orang saleh yang sudah wafat sebagai wasilah, apakah orang mati benar-benar tidak dapat memberikan manfaat? Menurut Kholidin, mencintai Rasul, mencintai orang saleh, dan mencintai kebaikan adalah amal kebaikan (amal saleh), maka rasa cinta kita kepada rang saleh bisa kita jadikan sebagai wasilah, maksudnya wasilah melalui amal saleh yang berupa cinta terhadap orang-orang saleh. Maka alangkah baiknya jika kita mengucpkan tawasul atas nama rasa cinta sebagai amal saleh, rasa cinta kepada orang saleh yang kita ziarahi misalnya. Dan wasilah yang demikian lebih cenderung aman dari kesyirikan.
5 komentar
Saniya, Thursday, 30 Dec 2021
Terimakasih Ilmunya
Yaul, Friday, 31 Dec 2021
Pemikiran Islam yg cerdas
staiicdemak staiicdemak, Friday, 31 Dec 2021
Terimakasih sudah mampir di website kami
Eka, Sunday, 2 Jan 2022
Kembangkan posting2annya yg membantu
unekehge, Monday, 3 Jan 2022
http://slkjfdf.net/ – Ohkuqiox Ulozened lws.dkuv.staiicdemak.ac.id.fgg.bo http://slkjfdf.net/